Kamis, 28 November 2013 07:12:51 WIB
Dilihat : 1527 kali
SAN FRANSISKO, KALIFORNIA -
Indonesia harus memberikan perhatian pada pembangunan karakter bangsa
untuk menjadi satu negara yang kuat berdasarkan Pancasila. "Kenyataan
dalam sejarah modern Indonesia, penguasa mengisi kemerdekaan dengan
penekanan pada pembangunan politik dan ekonomi dan tidak pada
pembangunan karakter bangsa," kata Rektor Universitas Islam Negeri (UIN)
Sunan Kalijaga Yogyakarta Prof Dr Musa Asy'arie seusai memberikan
kuliah umum dialog antariman di San Fransisco, Kalifornia, pada Senin
(25/11) waktu setempat atau Selasa (26/11) waktu Indonesia barat.
Sekretaris Jenderal Kementerian Agama
Bahrul Hayat PhD membuka kuliah umum yang bertema "Interfaith Dialogue
in a Plural Society: the View from Indonesia", pada Senin (25/11) waktu
setempat atau Selasa (WIB).
Kuliah umum dialog antariman yang
diselenggarakan Kementerian Agama dan Kementerian Luar Negeri itu
bekerja sama dengan Pusat Kajian Asia Tenggara (CSEAS) University of
California, Berkeley, menghadirkan pembicara lainnya dari Indonesia
yakni pakar dari Sekolah Tinggi Teologi Jakarta Pendeta Joas
Adiprasetya, Wakil Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Prof DR
Jamhari Makruf dan pakar dari Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Prof DR
Antonius Eddy Kristiyanto.
Prof Musa mengatakan lebih jauh bahwa
Pemerintah mestinya belajar dari pengalaman-pengalaman yang dibuat
semasa pemerintahan-pemerintahan lalu dan reformasi harus melahirkan
visi baru dengan pembangunan karakter sebagai penekanan.
Kalau tak diselesaikan, dia mengatakan
Indonesia akan mengalami krisis karakter dan menjadi lemah di
tengah-tengah era globalisasi.
Rektor UIN itu dalam makalahnya berjudul
"Religious Diversities and the Making of National Character", memberikan
padangannya dengan latar belakang Indonesia yang beragam suku, agama,
ras dan antarkelompok.
Dalam setiap masyarakat, katanya, selalu
ada perbedaan dan konflik. Konflik yang terjadi di tengah-tengah
masyarakat bukan disebabkan oleh keberagaman tetapi ada konspirasi
politik dan ada pihak-pihak yang memprovoklasi.
Lebih jauh dia mengatakan konflik
antaragama disebabkan tiga hal: perbedaan persepsi atas tuhan, konsepsi
tentang tuhan dan pengalaman empirik dimana manusia memahami tentang
tuhan melalui pengalamn sehari-hari sehingga terdapat hubugan
antarmanusia dengan tuhan. "Konflik terjadi karena terjadi manipulasi
atas nama agama," kata dia.
Prof Musa sependapat bahwa dialog
antariman merupakan satu cara meningkatkan saling pengertian untuk
meningkatkan kerja sama kongkret mengatasi berbagai jurang pemisah di
antara rakyat Indonesia.
Dia mengatakan bahwa reformasi yang
dialami Indonesia membuat Pemerintah lemah dan rakyat kuat sehingga
seakan-akan berlaku hukum rimba. "Berkembanglah premanisme putih dan
hitam di tengah-tengah masyarakat kita," katanya.
Sementara itu, pendeta DR Joas Adiprasetyo
mengatakan bahwa dialog antariman harus dibarengi dengan dua hal yakni
persahabatan dengan orang yang berbeda iman dan kesediaan untuk
menghargai perbedaan iman orang lain sebagai pihak yang tidak pernah
direngkuh sepenuhnya.
Dia mengharapkan dialog ini tidak saja
merupakan kegiataan yang dibuat-buat tetapi muncul dari persahabatan di
kalangan akar rumput.
Prof Jamhari menyampaikan bahwa dialog
antariman yang dilakukan oleh indonesia sudah dinilai bagus walaupun
masih ada kasus-kasus yang harus diselesaikan.
"Karena sudah menjadi perhatian dunia maka
perlu disikapi salah satunya dengan memperbaiki regulasi di Indonesia
yang berkaitan dengan agama yang tidak kompatibel dengan isu-isu hak
asasi manusia dan kebebasan beragama," kata dia.
Dia juga mengatakan Mukti Ali, Nurcholish
Majid dan KH Abdurrahman Wahid termasuk tokoh Islam yang telah berjasa
mempelopori dialog antariman.
Dalam makalahnya berjudul "From the
Experience of Catholic Minority", Prof DR Antonius Eddy Kristiyanto
mempertanyakan data mengenai jumlah penganut Katholik di Indonesia.
Menurut dia, data resmi yang disampaikan Pemerintah berbeda dari data
yang dikeluarkan 37 Keuskupan di Indonesia.
"Walau data berbeda, para misionaris akan tetap berperan di bidang layanan pendidikan, kesehatan dan sosial," katanya.
Dia juga mengatakan sebagai minoritas di
Indonesia, para penganut Katholik berterima kasih kepada pemerintah
karena telah menjadikan Pancasila sebagai rumah bersama. "Yang menjadi
tantangan saat ini adalah bagaimana menjadikan 100 persen Indonesia dan
100 persen Katholik," kata Romo Eddy.
Konsul Jenderal RI San Fransisco, Asianto
Sinambela dan lebih 50 mahasiswa tingkat pascasarjana dan sarjana UCB
menghadiri kuliah umum dengan moderator Ketua CSEAS DR Jeffrey Hadler.
(ID/ths/ant)
Sumber: